Di sudut tenang kedai kopi malam itu, Aroma arabika menyatu dengan waktu, Kursi kayu, Angin malam & pandanganmu yang datang tanpa ragu Langit jakarta mendung menggantung, Tapi senyummu memecah kelabu, Sekilas mata, detik yang melambat,

Hari ini bukan sekadar tanggal,
Bukan hanya senyum & bunga yang mekar,
Ini adalah janji yang kami rajut berlahan,
Dengan restu yang tumbuh dari doa dan harapan,
Ayah menatap dengan mata yang dalam,
Ibu tersenyum malu nan bahagia,
Di hadapan mereka , kami berdiri
Bukan lagi dua , tapi satu hati yang berani. Cincin kecil di jari ini,
Bukan sekedar logam berkilau perak atau emas,
Tapi lambang bahwa aku memilihmu,
Dan kau memilihku , dihadapan cinta yang tulus.

Kami bukan siapa-siapa, Hanya dua jiwa membawa ransel mimpi, Meninggalkan pelukan rumah yang hangat, Menuju kota di ujung utara - Manado tanah leluhur, Langit baru, dialek berbeda, Tapi tekad kami tetap satu suara: Untuk hidup lebih dari sekedar bertahan, Untuk belajar, jatuh dan bangkit bersama pelan-pelan.

Aku telah melihat dunia dalam berbagai rupa, Lelah, gembira, sunyi dan tanya - Tapi tak pernah kutemukan jawaban Selengkap tatapanmu saat berkata : “Kita siap berjalan” Ini bukan tentang pesta atau cincin, Bukan pula tentang gaun & undangan yang dikirim, Tapi tentang dua hati yang telah dewasa, Dan sadar bahwa cinta tak cukup tanpa usaha dan doa.